Sabtu, 30 Agustus 2014

Bully

        Terdengar suara yang tak asing lagi di telingaku. Suara yang membuatku beranjak dari alam khayalanku. Suara itu sama merdunya dengan suara malaikat yang sering aku dengar. Mungkin tidak sampai 1 oktaf namun, itu sangat membuatku sadar betapa indah memilikinya, Ibuku tersayang. 
"ayo, bangunlah ta! Hari sudah siang. Nanti kamu terlambat masuk sekolah" kata ibuku.
"ya, sebentar bu.. Aku masih mengantuk sekali... 10 menit lagi ya..." pintaku yang masih bermata 3 watt.
"apa kamu masih ingat kejadian kemarin ketika kamu terlambat masuk? Ibu sangat tidak mau kamu terlambat masuk lagi. Ayo bangun dan cuci matamu lalu makanlah!" perintah ibu.
        Namaku Lita. Ibu dan ayahku sayang sekali padaku karena akulah satu-satunya bidadari kecil yang mereka punya. Aku tidak punya kakak maupun adik. Hidupku terasa sepi meski aku dilimpahkan kasih sayang yang begitu besar dari keluargaku. Tidak lengkap rasanya bila sebuah keluarga hanya memiliki seorang anak. Aku sedari dulu memang memiliki impian untuk memiliki sebuah adik.
        Akupun beranjak dari surga malamku meski masih berat untuk melihat dunia pagi ini. Mengingat mimpi indahku semalam yang sangat menyenangkan yang terbawa sampai pagi ini, ya.. itulah mimpi yang selama ini aku impi-impikan, yaitu memiliki adik perempuan. Namun, itu hanyalah sebuah mimpi yang tidak mungkin bisa terwujud. Kutinggalkan mimpi dan surgaku itu dan beranjak bersiap-siap untuk pergi sekolah.
        "Hai fin!", "Hai na!", "Hai vi!" itulah sapaan yang setiap hari aku lontarkan dari mulutku. 
        Aku melakukan itu karena aku sayang kepada mereka. Oh iya, hari ini adalah hari pertamaku masuk ke kelas baru, tepatnya kelas 8B. Awalnya aku begitu gembira ketika mendengar kabar pembagian kelas karena aku bersama Hilda, teman yang aku idolakan selama di kelas 7. 
        Hilda merupakan anak yang baik. Dia ramah dan tidak pernah marah, apalagi sombong. Dia selalu meminta maaf apabila dia melakukan sedikit saja kesalahan kepada orang lain. Dia juga rajin dan hidup sederhana. Itulah yang membuatku ingin sekali berteman dengannya sedari kelas 7. 
        Namun, di kelas baruku ini, ada yang sangat aku sesali. Sahabat paruh umurku, Iydan, kini sudah sangat berubah. Sewaktu SD, aku sangat menyayanginya sebagai sahabat yang selalu ada di sisiku setiap aku sedih maupun gembira. Namun, itu tidak berlaku baginya sekarang. Ia telah berubah menjadi orang yang hyperaktif dan tidak memperdulikan kondisi hati seseorang ketika ia berbicara kepadaku. Dia tidak kejam, hanya saja dia tidak bisa berempati kepada orang lain bukan hanya aku, Hildapun merasakan hal yang sama denganku.
        Aku adalah orang yang terlalu fokus pada pelajaran sehingga aku tidak memperdulikan lingkungan sosial yang selama ini telah aku bangun susah payah. Semenjak kelas 6, aku menjadi tidak pernah bermain keluar rumah sehingga membuat kepribadianku menjadi pemalu. Aku pemalu dalam segala hal, bahkan hal yang orang normal biasa melakukannya, aku terkadang takut bin malu melakukannya. Aku merasa tidak bisa bersosialisasi bersama orang-orang di sekitarku. Semua terasa orang asing bagiku. Aku sungguh terlalu.
        Semua teman-temanku di kelas baru ini sudah beristirahat, mereka pergi bersama teman-teman mereka. Hanya aku yang terdiam membisu di dalam kelas. Aku merasa seperti dikucilkan. Namun, aku menyadari bahwa akulah yang tidak bisa bergaul dengan mereka. Aku bahkan pernah menangis dan marah kepada diriku atas apa yang telah diriku perbuat pada karakterku. Dulu aku tidak seperti ini. Dulu aku sangat mudah bergaul. Namun, kini menyapa orang lain pun aku tak sanggup.
         Menurutku, aku dan Hilda merupakan orang yang sering dibully dan dibuat lelucon oleh teman-temanku. Hilda merupakan orang yang sering dibully di kelas 7 namun, sepertinya kini giliranku untuk dibully. Aku sangat tersiksa dengan bullyan ini. Seumur hidupku, baru kali inilah aku merasakan kesepian, hinaan, dikucilkan, dan macam-macam pembullyan lainnya. Setiap hari, aku selalu dihina dengan dipanggil "cici..." oleh orang lain. Akupun lupa siapa yang telah memberiku nama panggilan itu. Awalnya aku suka, namun, semua rasa suka dan bahagia itu aku buang jauh-jauh ketika hampir seluruh orang di sekolahku memanggilku dengan nama panggilan begitu. Aku hanya tersenyum dan melambaikan tanganku ketika ada orang yang memanggilku begitu. Jujur, aku menangis di dalam hati. Apalagi ketika adik kelasku mengetahui nama panggilan yang sering dilontarkan padaku. Aku sangat malu pada adik kelasku. Aku tak kuasa mendengar suara-suara neraka itu lagi.